Jumat, 25 Maret 2011

Prinsip_prinsip MBS


Pada dasarnya terdapat empat prinsip MBS yaitu otonomi sekolah, fleksibilitas, dan partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
  1. Otonomi dapat diartikan sebagai kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri (pengelolaan mandiri). Dalam hal prinsip pengelolaan mandiri dibedakan dari pandangan yang menganggap sekolah hanya sebagai satuan organisasi pelaksana yang hanya melaksanakan segala sesuatu berdasarkan pengarahan, petunjuk, dan instruksi dari atas atau dari luar.
Kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah (sustainabilitas). Istilah otonomi juga sama dengan istilah “swa”, misalnya swasembada, swakelola, swadana, swakarya, dan swalayan. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/ menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, serta kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Namun perlu digarisbawahi bahwa kemandirian tersebut tidak bersifat mutlak, absolut, atau semaunya. Kemandirian yang ada tetap harus bertolak pada ketentuan, peraturan. dan perundangan yang berlaku. Sebagai salah satu contoh peningkatan mutu pendidikan di sekolah, guru sebagai profesional memiliki keleluasaan untuk menerapkan kiat-kiat pembelajaran yang efektif untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan.
  1. Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber daya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan sekolah yang lebih besar, sekolah akan lebih lincah dan tidak harus menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber daya.
Dengan prinsip fleksibilitas ini, sekolah akan lebih responsif dan lebih cepat dalam menanggapi segala tantangan yang dihadapi. Seperti pada prinsip otonomi di atas, prinsip fleksibilitas yang dimaksud tetap mengacu pada kebijakan, peraturan dan perundangan yang berlaku. Contoh fleksibilitas yang dapat dilakukan oleh seorang guru di sekolah adalah guru yang profesional memiliki kewenangan untuk memilih, menentukan metode, alat dan sumber belajar yang ia yakini efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran dan ia akan mempertanggungjawabkannya. Dalam konteks penyusunan program, masing-masing sekolah dapat menentukan prioritas-prioritas program yang dapat dilakukan sesuai kondisi masing-masing sekolah yang disesuaikan dengan lingkungan sekolah.
Dengan demikian, program dan penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) akan berbeda antara sekolah yang satu dengan sekolah lainnya, bahkan ketika alokasi anggaran yang dimiliki sekolah jumlahnya sama, tetapi penekanan dan pemilihan prioritas dapat berbeda. Prinsip ini membuka kesempatan bagi kreativitas sekolah untuk melakukan upaya-upaya inovatif yang diyakini dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan sekolah, terutama proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
  1. Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik. Warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dan sebagainya) didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi dalam mencapai tujuan sekolah. Singkatnya, makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar pula dedikasinya. Tentu saja pelibatan warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan partisipasi.
Peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan: (a) keterbukaan (transparansi); (b) kerja sama yang kuat; (c) akuntabilitas; dan (d) demokrasi pendidikan.
Pertama, transparansi (keterbukaan) yang dimaksud adalah keterbukaan dalam program dan keuangan. Kerja sama yang dimaksud adalah adanya sikap dan perbuatan lahiriah kebersamaan untuk meningkatkan mutu sekolah.
Kedua, kerjasama sekolah yang baik ditunjukkan oleh hubungan antarwarga sekolah yang erat, hubungan sekolah dan masyarakat erat, dan adanya kesadaran bersama bahwa output sekolah merupakan hasil kolektif teamwork yang kuat dan cerdas. Artinya, prestasi yang diraih ataupun mutu yang dicapai merupakan jerih payah upaya kolektif antara kepala sekolah, seluruh staf, dan dibantu oleh orang tua dan masyarakat dalam wadah Komite Sekolah. Oleh karena itu, kepemimpinan yang diterapkan di sekolah adalah kepemimpinan partisipatif, kolaboratif, dan demokratis. Dengan kepemim-pinan partisipatif, akan tumbuh komitmen bersama untuk meningkatkan mutu pendidikan sebagai realisasi program yang dibuat/disusun dengan melibatkan warga sekolah dan wakil orang tua dan masyarakat.
Ketiga, akuntabilitas adalah pertanggungjawaban sekolah kepada warga sekolahnya, masyarakat, dan pemerintah melalui pelaporan dan pertemuan yang dilakukan secara terbuka. Jika mengacu pada pasal 2 Standar Nasional Pendidikan, akuntabilitas tidak terlepas dari delapan standar nasional pendidikan, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidikan dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Ketercapaian 8 standar nasional pendidikan di sekolah menunjukkan sejauh mana mutu pendidikan atau kinerja suatu sekolah. Sebagai contoh, wujud akuntabilitas mengenai pengelolaan dan penggunaan dana serta pemanfaatan sumber daya lainnya secara efisien dan efketif dapat dituangkan ke dalam berbagai pelaporan, dokumentasi, dan sebagainya. Sisi lain yang tidak kalah pentingnya adalah akuntabilitas dalam ketercapaian standar pendidik dan tenaga kependidikan. Standar ini pada prinsipnya mengacu pada akuntabilitas profesional-isme tenaga pendidikan dan tenaga kependidikan. Demikian juga dengan akuntabilitas terhadap komptensi lulusan, atau mutu atau kinerja yang dicapai sekolah.
Keempat, demokrasi pendidikan adalah kebebasan yang terlembagakan melalui musyawarah dan mufakat dengan menghargai perbedaan, hak asasi manusia, serta kewajibannya dalam meningkatkan mutu pendidikan. Jadi, peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan keterbukaan (transparansi), kerjasama yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar